Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, memperingatkan bahaya kecanduan smartphone dan pengaruh negatif kecerdasan buatan (AI) terutama bagi generasi muda di era digital ini.
Ia menekankan pentingnya literasi untuk mempertajam cara berpikir kritis dan melawan pengaruh negatif AI.
“AI bukan instrumen yang netral,” kata Pratikno dalam acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke45 Perpustakaan Nasional RI di Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025).
Dalam mengilustrasikan ketidaknetralan AI, Pratikno berbagi pengalamannya saat mengajukan pertanyaan mengenai peristiwa Tiananmen di China kepada dua agen AI berbeda.
“Saya pernah bertanya kepada dua AI agent yang berbeda. Pertanyaan saya adalah what do you think about Tiananmen Square? What the China government did? Satu AI agent menjawabnya dengan detail, (menjelaskan bahwa) sekian mahasiswa terbunuh dan sebagainya,” katanya.
“Agen satu lagi menjawabnya dengan mengatakan I'm sorry. It is beyond my scope. Let's discuss something else. Jadi saya ingin mengatakan AI sendiri adalah tidak netral, tapi sangat penetral,” lanjutnya.
Pratikno kemudian menceritakan contoh konkret bahaya AI melalui kisah tragis seorang remaja berusia 16 tahun di California yang mengakhiri hidupnya akibat berinteraksi dengan AI.
“Seorang remaja usia 16 tahun di California bunuh diri karena dia berlangganan dengan AI agent yang bisa mengkreasikan seorang cewek seperti yang dia inginkan, (misalnya) saya ingin seorang gadis tingginya sekian, berat badannya sekian hidungnya begini, warna kulitnya begini, gaya bicaranya begini, sukanya ini dan seterusnya. AI bisa mengcreate orang yang begitu sempurna,”paparnya.
“Kemudian si remaja lakilaki itu sangat loyal dan AI tidak tahu algoritmanya seperti apa, asupan datanya seperti apa, justru menyarankan kepada si remaja lakilaki itu untuk bunuh diri, dan kemudian dia bunuh diri. Jadi poin saya adalah tanpa ada membaca kedalaman berpikir refleksi, inspirasi dan tubuh,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Pratikno juga mengkritisi perilaku mindless scrolling, yakni kebiasaan menggulir konten di media sosial atau aplikasi lain tanpa tujuan yang jelas, yang seringkali dilakukan tanpa disadari.
Pratikno mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan ratarata waktu layar (screen time) yang cukup tinggi, mencapai lebih dari 7 jam sehari.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menunjukkan fakta memprihatinkan dimana anakanak di bawah usia dua tahun sudah terpapar oleh gadget.
“Nah yang menyedihkan lagi ini data BPS terakhir menunjukkan bahwa gadget, smartphone sudah dinikmati oleh anakanak mulai dari usia kurang dari 2 tahun. Para pengasuh atau Ibu yang repot ketika anaknya tidak mau makan kemudian disajikan saja gadget. Exposure mengakibatkan addiction atau kecanduan gadget,” ungkapnya.
Pratikno memperingatkan bahwa kebiasaan menggulir konten tanpa tujuan yang jelas, termasuk kecanduan platform seperti TikTok, akan merusak kemampuan berpikir kritis dan menghasilkan gagasangagasan inspiratif.
“Perilaku scroller termasuk BapakIbu, mohon maaf, yang suka Tiktok dan lainlain akan memutuskan stay atau tidak stay hanya dalam waktu less than 20 seconds. Hanya 20 detik sudah bisa memutuskan. Bayangin kebiasaan scrolling memutuskan halhal penting kurang dari 20 detik akan menumbuhkan behavior yang tidak dalam, tidak inspiratif, bagi anakanak kita,” imbuhnya.
Menyadari tantangan berat yang dihadapi para pendidik, terutama pustakawan yang berperan sebagai agen literasi, Pratikno meminta upaya bersama dari masyarakat, khususnya generasi muda agar tidak hanya terpaku pada dunia digital, tetapi juga aktif dalam kehidupan nyata dan melek literasi.
“Kita harus menjauhkan anakanak kita untuk tidak terjebak dengan screen time yang terlalu lama harus terkontrol dengan baik dan jangan mentradisikan anakanak dengan mindless scrolling,” ujar Pratikno.
“Karena pada akhirnya yang akan survive ke depan bukan hanya orang yang memanfaatkan teknologi, tapi yang survive ke depan adalah yang mengendalikan teknologi,” tandasnya.(Grace Sanny Vania)