TRIBUNNEWS.COM - Seorang nelayan bernama Lukman Latili berhasil bertahan hidup di tengah lautan selama delapan bulan.
Ia pun menceritakan pengalaman pahitnya.
Warga Desa Timbuwolo Timur, Kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, itu membawa sebuah rakit, namun tak ada alat komunikasi.
Peristiwa ini bermula pada 13 Juli 2024, saat Lukman menjaga rakit miliknya di perairan laut Pinolosian, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara.
Saat itu, ia menemukan tali utama yang menjadi pengikat rakit tersebut terputus.
Nahas, rakit itu mulai hanyut terbawa arus ke laut lepas.
"Saya baru tahu saat melihat tali rakit timbul semua. Itu tanda rakit sudah hanyut jauh," ungkap Lukman saat diwawancarai TribunGorontalo.com, Kamis (15/5/2025).
Pihak Kepolisian Air dan Udara (Pol Airud) telah melakukan upaya pencarian, namun hasilnya nihil.
Komunikasi pun terputus akibat radar sambungan radio sudah sangat jauh.
Rakit yang biasa ditinggali selama lima hingga enam bulan itu, tak lagi bisa diandalkan untuk berkomunikasi atau mencari pertolongan.
Demi bertahan hidup, Lukman makan dengan bekal seadanya seperti beras, gas untuk memasak dan alat masak.
Ia mengandalkan bubur sebagai makanan pokok, dimakan pagi hingga malam.
Setelah persediaan habis, pria berusia 63 tahun itu mulai menangkap ikan menggunakan alat sederhana.
Namun, hasil yang didapat dari menangkap ikan tidak selalu membawa keberuntungan.
Tak jarang, ia harus menahan rasa lapar hingga lima hari tanpa makanan.
"Bahkan lima hari siang malam saya tidak makan apa-apa," katanya lirih.
Ketika kayu bakar dari rangka rakit mulai habis, ia terpaksa memakan ikan mentah.
Bukan hanya persoalan perut yang jadi ujian, tetapi juga badai dan ombak besar yang kerap menghadang.
Rakit sederhana yang ia tumpangi sering dihantam gelombang tinggi yang membahayakan nyawanya.
"Saya berdoa, ‘Ya Allah, jemputlah saya. Sudah tidak mampu lagi," kata Lukman dengan wajah mulai memerah.
Ia sempat merasa putus asa hingga ingin mengakhiri hidupnya.
"Saya baca di buku, katanya kalau orang mati bunuh diri, tidak akan dapat tempat di sana (akhirat). Tempatnya di neraka," imbuhnya.
Selama di tengah laut, Lukman mengaku sempat mencium bau asap rokok selama tiga kali.
"Saya menduga keluarga di rumah sudah doa arwah," tukasnya.
Di suatu malam Lukman mengaku mendengar suara mendiang istrinya yang menyemangatinya agar tak menyerah.
Suara itu menjadi titik balik. Ia pun melihat cahaya terang di atas rakit, tanda bahwa keajaiban tengah datang.
"Katanya saya belum akan mati. Saya akan selamat," kenang Lukman.
Hingga akhirnya, Tuhan mengabulkan doa Lukman.
Pada suatu malam di bulan Maret 2025, kapal pencari ikan milik perusahaan Tuna Indo Prima melintas tak jauh dari rakitnya.
Awak kapal melihat rakit itu dan segera mendekat dan memberikan pertolongan pertama pada Lukman.
Ia bertahan di kapal itu selama satu minggu sebelum akhirnya dibawa ke daratan di Bitung, Sulawesi Utara, lalu dipulangkan ke kampung halaman di Gorontalo.
Setelah delapan bulan terombang-ambing di lautan, kondisi fisik Lukman saat ini memprihatinkan.
Ia kesulitan berjalan dan sedang dalam masa pemulihan dengan bantuan dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo.
Meski tubuhnya belum pulih sempurna, Lukman ingin kembali bekerja sebagai nelayan, walau perahunya sudah tak ada lagi.
"Saya masih ingin kerja, hanya butuh bantuan perahu dan alat tangkap," ucapnya penuh harap.
(Falza) (Tribungorontalo.com/Herjianto Tangahu)