Logo 'Lebih Sehat' yang tercantum dalam kemasan pangan olahan selama ini ditujukan sebagai pilihan pangan dengan kadar gula, garam, dan lemak, (GGL) lebih rendah dibandingkan pangan sejenis yang dijual di pasaran. Meski begitu, Nida Adzilah Auliani Project Lead for Food Policy Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) memberikan catatan label tersebut malah kerap memicu kebingungan di kalangan konsumen.

Ia mencontohkan, batas maksimum kandungan gula yang diperbolehkan pada minuman kemasan adalah 6 gram per 100 ml. Namun, realitanya, masih banyak minuman misalnya jenis susu cokelat kemasan dengan ukuran 180 ml, yang mengandung 11 gram gula dalam satu takaran saji, tetapi mendapatkan label 'Lebih Sehat'.

"Kandungan tersebut mencakup lebih dari 20 persen dari batas asupan gula harian menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," jelas Nida dalam diskusi media Rabu (14/5/2025).

Nida juga menyoroti ambang batas zat gizi dalam logo 'Lebih Sehat' terbilang longgar ketimbang model profil gizi. Walhasil, label tersebut tidak cukup untuk membantu masyarakat bijak memilih pangan sehat.

Bisa terlihat dari catatan survei kesehatan indonesia (SKI) terkait obesitas meningkat dua kali lipat dalam 1,5 dekade terakhir, diabetes di RI menempati peringkat kelima di dunia, dan rata-rata konsumsi natrium penduduk Indonesia melebihi batas yang dianjurkan.

"Artinya, masyarakat bisa saja mengira suatu produk itu sehat, padahal sebenarnya mengandung gula tambahan," lanjutnya.

Mengacu pada sejumlah riset termasuk studi The Global Alliance for Improved Nutrition, logo terbaik untuk menggambarkan sehat atau tidaknya suatu produk adalah pemberian label peringatan atau label warning.

Rekomendasi CISDI diberikan dalam sedikitnya tiga bentuk warning yakni tinggi gula, tinggi garam, dan tinggi lemak. Warning semacam ini jelas bisa menggambarkan dampak suatu pangan lebih luas, tanpa perlu sosialisasi pemberian label baru.

Mengingat, tidak semua kelompok masyarakat memahami ambang batas kadar gula garam dan lemak. Contoh sukses penerapan label semacam ini sudah berlaku di Chili, yang sudah berlaku sejak 2016 dalam penetapan undang-undang inovatif terkait pelabelan dan iklan makanan.

Hasilnya dianalisis dari data lebih 2 ribu rumah tangga yang kemudian bijak dalam membeli makanan, terutama produk tidak sehat.

Selain Chili, negara-negara yang sudah menerapkan pemberian label peringatan adalah Meksiko, Peru, Argentina, Uruguay, Brasil, Kolombia, hingga Venezuela.

"Dari hasil evaluasi dan studi di negara Amerika Latin, Kenya, dan Afrika Selatan, label terbukti efektif untuk mendorong masyarakat memilih produk lain yang tidak memiliki label peringatan tersebut. Label peringatan juga mudah dipahami, sehingga konsumen bisa langsung membuat keputusan dengan cepat," lanjutnya.

Label peringatan semacam ini dinilai lebih efektif ketimbang 'Nutri-Grade' di Singapura yang memerlukan sosialisasi arti dari setiap level abjad A hingga D. CISDI mengaku sudah mengirimkan usulan tersebut baik dalam bentuk pangan olahan maupun siap saji kepada BPOM RI dan Kemenkes RI sebagai penanggung jawab.

"Hasilnya belum ada, tetapi harapan kami tentu usulan ini akan diakomodir," pungkasnya.



Baca Lebih Lanjut
Meningkatkan Asupan Kalium Lebih Efektif Turunkan Tekanan Darah Dibanding Mengurangi Garam
Timesindonesia
Pelatihan Alsintan dan Manajerial untuk Brigade Pangan Digelar di Desa Sepang OKI
Timesindonesia
10 Tanda Kolesterol Tinggi yang Bisa Muncul di Pagi Hari, Apa Saja?
Detik
Sabun Batang vs Sabun Cair, Mana yang Lebih Baik untuk Kulit Sensitif?
Konten Grid
Studi: Penderita Tekanan Darah Tinggi Butuh Lebih Banyak 6 Vitamin Ini
Timesindonesia
Tuai Kontroversi! Pria Yordania Sebut Nasgor Malaysia Lebih Enak dari Indonesia
Detik
12 Mei 2025 Memperingati Hari Apa? Ada Libur Waisak dan Peringatan Lainnya
Detik
Aman dari Makanan Basi, Bungkus Ajaib Ini Bisa Beri Pertanda Pembusukan
Detik
Jorge Martin Mau Akhiri Kontrak di Aprilia Lebih Cepat?
Detik
10 Kalimat yang Sering Diucapkan Pemikir Tingkat Tinggi, Kamu Pernah?
Detik