TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Video prosesi wisuda siswa SMK Citra Bangsa Mandiri Purwokerto yang viral di media sosial, memantik beragam reaksi dari warganet.
Dalam video yang tersebar di TikTok dan Instagram itu, para siswa tampak mengenakan toga lengkap sebagaimana prosesi kelulusan di perguruan tinggi.
Bahkan, para guru pun memakai atribut menyerupai guru besar.
Fenomena ini mendapat tanggapan dari pengamat pendidikan sekaligus Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Saizu Purwokerto, Prof. Dr. H. Fauzi, M.Ag.
Ia mengatakan kegiatan wisuda sebenarnya bukan monopoli perguruan tinggi, namun tetap perlu memperhatikan aspek substansi dan regulasi.
Wisuda Bukan Monopoli Kampus
"Sebetulnya wisuda itu kita maknai sebagai pelantikan orang yang telah selesai studi.
Jadi kalau menyelenggarakan wisuda, siapapun lembaga berhak menyelenggarakan," ujar Prof. Fauzi kepada Tribunbanyumas.com, Rabu (14/5/2025).
Ia mengakui secara tradisi, wisuda memang identik dengan kelulusan sarjana.
Namun kini pergeseran makna telah terjadi, bahkan lembaga pendidikan non-formal hingga taman kanak-kanak pun mengadopsi tradisi serupa.
"Dalam aspek sosiologis, kegiatan wisuda tidak semata-mata di perguruan tinggi.
SMA, SMK, hingga TK pun menyelenggarakan sebagai bentuk pengakuan telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu," ujarnya.
Soroti Penggunaan Istilah dan Atribut
Kendati demikian, Prof. Fauzi juga menyoroti penggunaan istilah seperti “Senat Terbuka” dan atribut kelulusan yang menyerupai perguruan tinggi.
Ia mempertanyakan apakah di tingkat SMK memang ada struktur senat akademik yang secara regulatif berwenang menggelar prosesi tersebut.
"Apakah betul di SMK itu ada senat akademik? Karena istilah senat adalah lembaga normatif yang memiliki kewenangan menggelar sidang senat terbuka," ungkapnya.
Soal atribut, ia menyebut setiap lembaga memang bisa menentukan sendiri, namun perlu mempertimbangkan urgensinya.
"Kalau meniru kenapa harus begitu? Esensinya apa? Misalkan untuk motivasi anak melanjutkan kuliah bisa jadi, tapi kalau hanya ikut-ikutan lebih baik dipertimbangkan ulang," imbuhnya.
Tradisi Lama, Tapi Harus Kontekstual
Menurut Prof. Fauzi, tradisi wisuda sudah berlangsung lama, berasal dari universitas klasik seperti Oxford dan Cambridge di Inggris, yang membawa tradisi toga dan jubah dari pengaruh budaya Italia.
Namun, pelaksanaan tradisi itu di Indonesia harus dikontekstualisasikan.
"Atribut wisuda mengalami perubahan sesuai kesepakatan masing-masing lembaga.
Misalnya topi toga lazimnya segi lima, tapi di ITB bentuknya bulat.
Bahkan di beberapa UIN ada yang pakai peci," katanya.
Ia menegaskan yang terpenting dari sebuah prosesi kelulusan adalah bagaimana membekali siswa dengan kesiapan mental dan softskill pasca lulus, bukan hanya sekadar seremoni.
"Saya tidak mengatakan itu tidak baik, tapi perlu mempertimbangkan urgensinya.
Yang penting adalah mempromosikan kehidupan pasca studi, membangun kesiapan mental, dan mempersiapkan studi lanjut atau dunia kerja," tegasnya.
Ia juga menambahkan acara wisuda di luar perguruan tinggi sah-sah saja selama memiliki dasar regulasi dan disosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan.
"Ini bukan hal baru, hanya formulasinya yang berbeda-beda di tiap lembaga.
Yang penting jangan sampai membebani siswa hanya demi penampilan seremoni," tutup Prof. Fauzi.(jti)