Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Benni Indo
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Rawon Brintik menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kuliner di Kota Malang, Jawa Timur.
Berdiri sejak tahun 1942, Rawon Brintik bukan sekadar tempat makan, melainkan representasi dari warisan budaya yang terus hidup dan berkembang.
Pertama kali dibuka oleh Napsiah, seorang perempuan berambut keriting yang akrab disapa "Mak Brintik" oleh para pelanggannya. Warung ini awalnya berlokasi di kawasan Petukangan (kini Jalan Gatot Subroto Gang 3 Nomor 2).
Seiring waktu, pada tahun 1964, warung ini berpindah ke Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 39, Sukoharjo dan bertahan di sana hingga ini.
Kini, Rawon Brintik dikelola oleh generasi ketiga dan keempat keluarga Napsiah, yakni Hj Maslichah Hasyim, Arif Fadila, dan istrinya, Elvy Rusyidah.
Keduanya menjaga warisan ini dengan sepenuh hati, meneruskan cita rasa yang telah melekat kuat di lidah para pelanggannya.
Arif Fadila, yang lahir pada tahun 1966, mengisahkan bagaimana dirinya sempat bekerja di bidang marketing selama 11 tahun sebelum akhirnya memutuskan berhenti pada usia 48 tahun untuk meneruskan usaha keluarga.
"Istri saya memang disuruh bantu ibu untuk meneruskan. Saya dulu kerja ikut orang, tapi akhirnya balik ke sini untuk melanjutkan Rawon Brintik," kenangnya, Minggu (27/4/2025).
Cita Rasa yang Tak Lekang oleh Waktu
Rawon Brintik dikenal dengan kuah hitam pekat yang kaya akan rempah, hasil penggunaan kluwek dan bumbu tradisional.
Daging sapi yang empuk berpadu dengan kuah gurih menciptakan rasa yang dalam dan autentik.
Uniknya, proses memasak di Rawon Brintik masih mempertahankan metode tradisional, yakni menggunakan tungku berbahan bakar arang.
“Memasak dengan arang itu ada tujuannya. Rumusnya memang pakai arang bahan bakarnya. Kalau pakai kompor beda rasa. Ini rumus dari mbah, jadi kami tidak berani ganti,” ujar Arif.
Ia bahkan menceritakan pernah ada yang menyarankan menggunakan batok kelapa sebagai bahan bakar, tetapi ia tetap setia pada arang.
“Besan ibu saya pernah coba pakai kompor, rasanya beda juga,” tambahnya lalu tersenyum.
Rawon Brintik buka setiap hari dari pukul 05.00 hingga 16.00 WIB.
Dalam sehari, warung ini bisa melayani hingga 50 pelanggan, baik dari dalam Kota Malang maupun luar kota.
"Pelanggan dari mana saja banyak. Dari perumahan mana saja. Sehari bisa sampai 50 orang. Kualitas rasa itu yang kami jaga," katanya.
Menurut Elvy Rusyidah, menjaga kualitas bukan hanya soal resep, tetapi juga menjaga kebersihan peralatan dan metode memasak.
Mereka mempertahankan cita rasa sebaik mungkin agar pelanggan senang setiap kali datang ke sana.
"Kami mempertahankan cita rasa dengan menggunakan peralatan yang semula dan menjaga kebersihan. Satu tungku saja, karena itu sudah turun-temurun dari zaman mbah," jelasnya.
Selain rawon, warung ini juga menyajikan menu lain seperti semur daging, nasi kare ayam kampung, dan nasi bumbu rujak ayam.
Rawon bercita rasa asin gurih, sedangkan semurnya dikenal agak manis dengan sentuhan gurih yang khas.
Eka Diah, pelanggan setia kelahiran 1965, mengungkapkan kekagumannya terhadap keunikan semur di Rawon Brintik.
Dari generasi ke generasi, keluarga Eka telah menikmati Rawon Brintik.
Saat ditemui, ia sedang bersama putranya sedang sarapan di lokasi.
“Menu semur di sini itu jarang ada. Ini kan pakai kluwek, pekat, lekoh. Warnanya pekat sekali. Di Malang belum ada semur seperti ini,” tuturnya.
“Kalau semur di tempat lain biasanya hanya manis, tapi di sini ada gurihnya, ada aroma khas yang keluar. Semurnya juga beda karena kecapnya dikristalin," imbuhnya.
Putranya, Indra Bayu pun selalu menyempatkan diri mampir ke Rawon Brintik setiap kali pulang ke Indonesia. Dulu ia pernah tinggal di Australia.
"Saya diajak ke sini sejak kecil, sama nenek. Ini sudah tradisi keluarga. Pokoknya setiap pulang, pasti ke sini. Seringnya malah pagi-pagi langsung ke sini," kata Indra.