SURYA.CO.ID - Kakek berusia 68 tahun, Mbah Tupon, terancam kehilangan tanah seluas 1.655 meter persegi dan dua rumah miliknya.
Warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini diduga menjadi korban mafia tanah.
Sebab, sertifikat pada tanah itu telah beralih nama.
Kini, kasus yang dialami Mbah Tupon sudah dilaporkan ke Polda DIY.
Bagaimana kronologinya?
Bermula pada 2020, saat itu Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanah miliknya, yaitu 298 meter persegi dari total 2.100 meter persegi.
Pembeli berinisial BR ingin membeli tanah milik Mbah Tupon seluas 298 meter persegi.
Pada momen itu, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan seluas 90 meter persegi.
Setelah itu, dia menghibahkan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang RT.
"Terus dipecah sertifikatnya, untuk jalan itu sudah jadi sertifikatnya," kata anak pertama Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), Sabtu (26/4/2025), dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.
BR kemudian menanyakan sertifikat dan berinisiatif untuk memecah sertifikat pada sisa tanah seluas 1.655 meter persegi menjadi 4 sertifikat.
Empat sertifikat tanah itu rencananya akan atas nama Mbah Tupon dan anak-anaknya sebanyak tiga orang.
"Bapak masih ada uang (piutang) di BR sekitar Rp 35 juta, itu untuk memecah. 'Mbah kowe isih nduwe duit sak mene piye nek sertifikat dipecah dinggo anak-anakmu ben enteng' (Mbah, kamu masih punya uang sekian, bagaimana kalau untuk pecah sertifikat untuk anak-anakmu supaya enteng)," kata Heri menirukan ucapan BR.
Saat itu, Mbah Tupon menjual tanah dengan harga Rp 1 juta per meter, lokasinya berada di belakang rumah Mbah Tupon.
"Sertifikat jadi 4, buat bapak sama anak-anaknya," kata dia.
BR menawarkan memecah sertifikat menjadi 4 itu sekitar tahun 2021 setelah proses jual beli dengan ayahnya.
"Bapak sering nanyain ke BR, sudah jadi atau belum (sertifikat)," katanya.
Yang terjadi justru sertifikat milik Mbah Tupon dibalik nama dengan inisial IF dan diagunkan ke bank senilai Rp 1,5 miliar.
Sertifikat Berubah Nama
Heri mengaku tak kenal sama sekali dengan IF dan tidak pernah bertemu sebelumnya.
Ia baru mengetahui sertifikat diatasnamakan orang lain dan diagunkan ke bank pada Maret tahun 2024 lalu.
"Bank ngabari ke sini, atas nama IF dari awal pinjam belum sempat mengangsur sama sekali. Sekitar 4 bulan setelah pencairan bank ke sini," katanya.
"Di bank itu sertifikatnya masih utuh, tapi sudah dibalik nama. Bank bawa fotokopian sertifikat," ujarnya.
Lanjut Heri, pihak bank memberitahukan bahwa tanah yang diagunkan atas nama IF itu sudah masuk lelang tahap pertama.
"Bank ke sini itu sudah lelangan pertama. Kemarin itu Jumat (25/4/2025) bank ke sini kasih tahu seminggu lagi ada seperti ukur ulang," katanya.
Mengetahui hal itu, pihak keluarga lalu mendatangi BR untuk menanyakan duduk perkara.
"Dia bilang 'ini yang nakal notarisnya, besok saya urus'. Lalu BR menyuruh tangan kanannya (inisial TR) mengajak lapor ke Polda (DIY)," kata dia.
Tak Ada Survei Bank
Heri menjelaskan, pihak bank tak pernah melakukan survei ketika sertifikatnya diagunkan ke bank.
Selama proses jual beli, Mbah Tupon diminta tanda tangan dua kali oleh calo penghubung BR.
"Disuruh tanda tangan pertama di daerah Janti, terus yang kedua di Krapyak. Bapak kurang tahu tanda tangan dokumen apa, soalnya bapak enggak bisa baca dan tidak dibacakan," kata dia.
Saat itu, lanjut Heri, ayahnya hanya didampingi oleh ibunya dan tidak didampingi oleh anak-anaknya.
Tak hanya itu, tanda tangan ketiga dilakukan di rumah Mbah Tupon namun lagi-lagi tidak didampingi oleh anak-anaknya.
Saat itu, tanda tangan ketiga dibubuhkan dengan alasan untuk urusan memecah sertifikat.
Setelah tanda tangan, Mbah Tupon kembali dimintai uang sebesar Rp 5 juta oleh TR, perantara BR.
"Sudah menanyakan ke BR, waktu itu BR ngomong 'wah nek saiki rung duwe duit, nek kowe ono cukupono sikik' (kalau sekarang belum ada uang, kalau kamu ada cukupi dulu)," kata Heri menirukan BR.
Kasus ini lalu dilaporkan ke Polda DIY pada April 2025. Heri diminta penyidik untuk melaporkan semua orang yang terlibat.
"Kata penyidik itu sudah mafia, laporkan TR, BR, TRY, AR, dan IF," katanya.
Saat diwawancarai awak media, Mbah Tupon harus didampingi anaknya karena pendengarannya sudah berkurang.
Mbah Tupon mengatakan sedih saat bank datang ke rumahnya untuk melelang tanah miliknya.
"Sedih, susah to, bingung pikirannya. Seperti enggak biasanya," katanya.
"Saya itu enggak bisa baca, enggak bisa nulis, buta huruf. Yang penting sertifikat kembali ke saya," kata Mbah Tupon.
Saat dikonfirmasi, Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Ihsan mengatakan dirinya akan menanyakan kasus ini ke penyidik terleboh dahulu.
"Mohon waktu ya, saya tanyakan ke penyidik (kasus Mbah Tupon)," kata dia.
Klik di sini untuk untuk bergabung