TRIBUNJOGJA.COM - Setiap manusia pasti pernah berhenti sejenak dan bertanya "untuk apa aku hidup?"
Pertanyaan sederhana itu muncul di sela-sela kesibukan, di antara malam yang hening atau saat hati merasa kosong meski segalanya tampak lengkap.
Di sanalah puisi eksistensial lahir sebagai bentuk pencarian makna dari keberadaan yang fana.
Puisi eksistensial bukan sekadar rangkaian kata, tetapi perjalanan batin untuk memahami diri, waktu, dan Tuhan.
Dalam setiap barisnya, ada pergulatan antara harapan dan ketakutan, antara keberanian untuk hidup dan kesadaran akan kefanaan.
5 contoh puisi berikut menghadirkan suara hati manusia yang sedang berdialog dengan sunyi.
Ia tidak selalu menemukan jawaban, tapi justru menemukan ketenangan dalam pertanyaan itu sendiri.
Karena kadang, makna hidup bukan untuk dimengerti melainkan untuk dijalani dengan kesadaran bahwa kita "ada."
1. Aku, Di Antara Sunyi dan Waktu
Aku berjalan di antara detik dan sepi,
mencari arti di balik napas sendiri,
langit luas menatap tanpa suara,
dan aku bertanya, adakah arti di sana?
Semesta begitu besar, aku begitu kecil,
namun mengapa aku masih ingin berarti?
Barangkali keberadaan ini bukan kebetulan,
melainkan panggilan untuk mengerti diri.
Jika hidup hanyalah singgah sebentar,
biarlah aku tinggal dengan sadar,
menjadi debu yang tahu dirinya fana,
namun tetap ingin mencintai dunia.
2. Di Hadapan Cermin Kosong
Aku menatap wajah sendiri,
namun yang kulihat hanyalah waktu,
bayangan itu tersenyum samar,
seakan berkata, “kau hanya tamu.”
Aku mencoba mencari makna,
di antara garis dan tatapan mata,
namun yang kutemukan hanya tanya,
tentang siapa aku sebenarnya.
Cermin pun diam, tak memberi jawaban,
dan aku sadar dalam keheningan,
mungkin pertanyaan ini tak untuk dijawab,
hanya untuk diterima dalam keinsafan.
3. Dialog dengan Malam
Malam datang dengan wajah lembut,
membawa sepi yang menuntut makna,
aku duduk berbincang dengannya,
tentang hidup, takdir, dan rasa hampa.
“Mengapa manusia takut gelap?” tanyanya,
“Karena di sana mereka mendengar dirinya.”
aku terdiam, barangkali benar,
dalam sunyi, semua topeng runtuh tanpa perlawanan.
Lalu malam pun memelukku diam,
seperti ibu bagi anak yang gelisah,
dan aku merasa untuk pertama kalinya,
tak lagi takut pada ketidakpastian.
4. Tentang Keberadaan
Aku bukan siapa-siapa,
namun juga bukan ketiadaan,
aku hanyalah napas yang lewat,
di antara dua keheningan panjang.
Dunia berputar tanpa menungguku,
namun aku tetap menulis namaku di udara.
karena ingin tahu,
adakah makna di balik sementara?
Mungkin aku tak akan abadi,
namun itu tak membuatku kalah,
sebab keberadaan bukan tentang lama,
tapi tentang seberapa sadar kita pernah ada.
5. Ketika Aku Bicara dengan Tuhan
Aku tak meminta surga atau umur panjang,
aku hanya ingin tahu,
apakah hidup ini sekadar perjalanan,
atau pesan yang harus kupahami pelan-pelan.
Aku bertanya dalam doa tanpa suara,
dan semesta menjawab dengan diam,
mungkin keheningan itu adalah bahasa-Nya,
bahwa tidak semua harus dimengerti manusia.
Maka aku berhenti mencari jawaban,
dan mulai hidup dengan kejujuran,
sebab dalam setiap napas yang tak pasti,
aku akhirnya mengerti "aku ada itu sudah berarti."
Hidup sering kali terasa absurd, dan manusia kerap terjebak dalam pencarian yang tak berujung.
Namun dari setiap kegelisahan, lahirlah pemahaman bahwa keberadaan itu sendiri adalah keajaiban.
Puisi-puisi eksistensial ini mengajak kita untuk berdamai dengan tanya, untuk berhenti sejenak dari keinginan “menjadi seseorang”, dan mulai menerima diri apa adanya.
Karena pada akhirnya, makna hidup tak perlu dicari terlalu jauh karena ia selalu bersemayam di dalam diri, di setiap napas yang masih berani kita hembuskan.
"Sebab, menjadi sadar bahwa kita hidup sudah merupakan bentuk makna tertinggi dari keberadaan itu sendiri."
(MG HAJAH RUBIATI)
Contact to : xlf550402@gmail.com
Copyright © boyuanhulian 2020 - 2023. All Right Reserved.